oleh : Ahmad Muzakki
A. Pendahuluan
Masalah pendekatan dalam kajian Islam telah mendorong perhatian banyak sarjana di bidang studi Islam (Islamic Studies). Awalnya, kajian Islam hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas dan hanya dikaji dalam konteks history of religions,comparative study of religios atau religions wissenschaft pada umumnya.
Dalam kaitanya dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak
pernah terbekukan secara tegas. Maka perlu kiranya suatu kecermatan
dalam upaya menentukan faktor-faktor yang mencakup dalam pendekatan
fenomenologis. Pendekatan fenomenologis memiliki karekteristik
tersendiri yang berbeda dengan pendekatan lainya dalam memahami agama.
Kali pertama, pendekatan fenomenologi merupakan upaya membangun suatu
metodologi yang koheren bagi studi agama. Begitu juga fenomenologi lahir
dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode penelitian ilmiah
yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.
[1]
Terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi agama.
Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama sesorang yang
termasuk di dalamnya usaha sebagian dalam mengkaji pilihan dan komitmen
mereka secara netral sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi
pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk
mengklasifikasi fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan
kelompok religius. Secara umum, pendekatan ini hanya menangkap sisi
pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia
secara sama, tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan
budaya masyarakat.
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna
secara jelas tentang apa yang yang disebut dengan perilaku keagamaan.
Sebagai sebuah ilmu yang relatif kebenarannya, pada pendekatan ini tidak
dapat berjalan sendiri. Secara operasional, ia membutuhkan perangkat
lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi,
sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
B. Pembahasan
Seseorang dapat mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk
Religionswissenschaft.
[2] Mereka
yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan
tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir abad
ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah
terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat
penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan
sebutan sejarah agama atau perbandingan agama.
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama,
bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama
orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi
orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan
menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam
tindakan menanggalkan diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Epoche sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan
kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau
pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan
fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan
Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik.
Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang
digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama
itu sendiri.
Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang
dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan
dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya.
Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara,
ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam
keberagamaan pelaku.
Selanjutnya dalam pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan
disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi,
studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya.
Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan
dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian
melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan
kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya,
bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab
pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang
apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini
agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang
dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.
Dengan demikian pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (
outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan “ya” terhadap deskripsi tersebut.
[3]
Adapun aspek yang Kedua adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk
mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, bahkan epoche.
Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah
mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut.
Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman
beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam
membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
1. Akar Dan Perkembangan Pemikiran Fenomenologi
Sekitar abad 15 dan 16 M, di Eropa telah terjadi suatu perubahan
terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya. Hal ini dikarenankan
di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang
‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan,
mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya.
Selanjutnya, munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini,
bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan– bersifat dekonstruktif;
reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasar
atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan.
[4]
Adalah sebuah kesadaran akan ‘subyektivitas’ yang menjadi titik poin di
dalam era kebangkitan. Kiranya perlu kita ketahui dan renungkan bahwa
subyektif di sini bukan sebagai lawan dari obyektif, melainkan dari kata
subyek (aku) sebagai yang menghendaki, bertindak serta mengerti. Hal
ini tampaknya senada dengan apa yang ungkapkan oleh Hegel, ketika ia
mengatakan bahwa manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir
di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir,
berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas
adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris.
[5]
Dengan demikian, pada abad ke-15 dan 16 M, selain masa revitalisasi
agama dan masa kebangkitan Eropa berlangsung, pada saat itu pula muncul
penekanan segala hal pada sudut pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî).
Dari sinilah awal mula muncul dua aliran besar yang saling bertentangan,
yakni rasionalisme dan empirisme. Kemudian, pertentangan ini berlanjut
pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa, yakni; idealis dan
realis. Immanuel Kant pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini,
namun yang terjadi justru pengunggulan idealistik atas realistik. Pun
Hegel, ia malah terjebak pada prioritas ide dan konsep atas materi.
Efeknya, tesis yang dikemukakannya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi
dari pada ke realitas.
[6]
Kehadiran Edmund Husserl, empat kurun setelah muculnya kesadaran Eropa
pada abad ke-19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan
idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan
menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena, “kesadaran” sesuai
kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan
filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik
dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan
“fenomenologi”.
[7] Secara
genealogis, fenomenologi juga merupakan sebentuk respon terhadap
dominasi ‘rasio’, yang terjadi pada abad 17 dan 18. Dominasi rasio
terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada
sikap matematis. Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran”
serta “penggerak kehidupan”.
[8]
Selanjutnya, secara harfiah istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani
pahainomenon yang
memiliki arti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran
kita. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat
yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran
manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dengan
demikian secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi
‘ilmiah’ dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti
pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari
seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).
[9] Oleh
sebab itu, perlu kiranya dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi
membutuhkan perangkat lain, seperti sejarah, filologi, arkeologi,
psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Dimyati, dengan mengutip dari beberapa gagasan Husserl, menyatakan bahwa
fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang
kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang
meliputi inderawi, konseptual, moral, estetis dan religius. Fenomenologi
adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman
dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.
[10]
Karenanya, manusia sebagai makhluk yang selalu melakukan komunikasi,
interaksi, partisipasi dan penyebab yang bertujuan. Kekhususan manusia
terletak pada intensionalitas psikisnya yang ia sadari, yang dikaitkan
dengan dunia arti dan makna. Maka, dunia makna manusia dapat diteliti
dengan metode fenomenologi.
Pada prakteknya, Husserl hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam
fenomenologi, yakni: reduksi fenomenologis dan konstitusi. Reduksi
fenomenologis merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju
“kesadaran”. Dalam arti, jika sikap natural terhadap fenomena alam
“menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis berarti penangguhan
“kepercayaan” terhadap dunia
riil. Namun sikap tersebut tidak
berarti menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam
upaya “netralisasi”—Husserl mengistilahkan hal ini dengan diberi tanda
kurung (
bracketing). Di sini Husserl membedakan antara reduksi
fenomenologis dan reduksi eidetik. Perbedaannya adalah, reduksi
fenomenologis mengindahkan alam
riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’. Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (
eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna. Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”.
[11]
Selanjutnya, reduksi eiditis merupakan tahapan reduksi kedua dalam
penelitian berperspektif fenomenologi. Reduksi ini bertujuan memperoleh
intisari dari hakikat yang telah ada. Biasanya dalam reduksi ini,
peneliti menempuh langkah pengabstraksian (menggambarkan secara
imajinatif) tentang peristiwa sosial yang hidup. Selain itu, peneliti
melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap data-data yang bersifat
tetap atau tidak menunjukkan perubahan dalam berbagai variasi situasi
dan kondisi. Melalui cara interpretative understanding ini
diharapkan dapat mempermudah bagi peneliti secara langsung membuat
klasifikasi dan identifikasi perolehan data di lapangan. Dalam kegiatan
ini pencatatan data dan informasi dengan menggunakan field notes, dilakukan sesegera mungkin setelah wawancara naturalistic (naturalistic interview)
berlangsung, misalnya di rumah. Selanjutnya dari hasil observasi,
perilaku tindakan masyarakat dipilah-pilah untuk dilakukan pendalaman
lebih lanjut melalui wawancara mendalam sehingga diperoleh makna dan
pemahaman. Proses pengumpulan data dihentikan setelah dianggap jenuh
yaitu setelah tidak ada jawaban baru lagi dari lapangan.
Artinya, peneliti selalu memperoleh informasi atau jawaban yang sama
atau sejenis dari informan-informan baru. Situasi ini ditandai dengan
data yang terkumpul selalu menunjukkan hal yang sama dari berbagai
situasi dan sumber yang berbeda.
Untuk melakukan
epoche[12] dalam
rangka mendapatkan kemurnian fenomena maka ketika peneliti memasuki
lapangan harus melepaskan segala atribut seperti adat istiadat, jabatan,
agama, dan pandangan ilmu pengetahuan.
[13] Padahal,
tugas fenomenologi adalah menghubungkan antara pengetahuan ilmiah
dengan pengalaman sehari-hari dari kegiatan dimana pengalaman dan
pengetahuan berakar.
[14] Di
sini fenomenologi merupakan bentuk idealisme yang tertarik pada
struktur-struktur dan cara bekerjanya kesadaran manusia, yang secara
implisit meyakini bahwa dunia yang kita alami, diciptakan atas dasar
kesadaran.
[15] Dunia
eksternal tidak ditolak keberadaannya, tetapi dunia luar hanya dapat
dimengerti melalui kesadaran kita. Kita hanya tertarik dengan dunia
sejauh dia memiliki makna, maka kita harus memahami dengan membuatnya
bermakna. Cara memahaminya harus mengesampingkan apa yang sudah kita
asumsikan tahu, lalu menelusuri proses untuk memahaminya. Pengesampingan
ini sering pula diistilahkan dengan reduksi fenomenologis.
Sementara itu, konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena terhadap
“kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi
fenomenologi; tampaknya fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan
bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya kemudian disebut “pelaku
kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai relasi antara
subyek dan kesadaran.
Martin Heidegger dalam bukunya menyinggung fenomenologi Husserl, bahwa
manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan
kesadaran”, suatu tempat, panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat
terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi bersifat duniawi. Atau
“ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi
bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan
“kesadaran” sendiri tak pernah berinteraksi langsung dengan realitas
jika eksistensi tidak menyeruak menembus “kesadaran”. Titik akhirnya,
ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan dengan masa
lalu, masa sekarang, dan masa depan.
[16] Disini
terlihat jelas bahwa Heidegger hendak menyatukan antara fenomenologi
dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan fenomena “ada”. Dalam arti,
bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi “tidak ada”?
Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini
Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan
kesadaran”.
[17]
Tampaknya Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa
eksistensi yang selalu hidup dalam diri manusia adalah “kesadarannya”
sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas suatu realitas adalah
pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”.
[18]
Menurut hemat penulis, dari uraian di atas dapat dikatahui bahwa
pendekatan fenomenologi memiliki ciri dan karakter tersendiri.
Fenomenologi berangkat dari pola pikir sub-subyektivisme, yang tidak
hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha
menggali makna dibalik gejala itu. Selain itu, intensional obyektifikasi
berarti mengarahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran
kesadaran), kepada obyek-obyek intensional. Fungsi intensionalitas
adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran.
Husserl melihat, dalam pengarahan intensional ada struktur yang kompleks
dan dalam struktur tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan
diintegrasikan dalam obyek yang membentuk kutub obyektifnya.
Kemudian, intensionalitas sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang
mengarahkan berbagai data dan peristiwa kemudian pada obyek hasil
obyektivikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dari
dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun
intelektual.
Yang menjadi ciri selanjutnya adalah intensionalitas korelasi,
menghubung-hubungkan setiap aspek dari obyek yang identik menunjuk pada
aspek-aspek lain yang menjadi horizonnya. Bagian depan sebuah obyek
menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek yang
menjadi horizon dari obyek memberi pengharapan pada subyek untuk
mengalaminya kembali di kemudian hari. Aspek atau bagian-bagian tersebut
selalu dibayangi oleh obyek identik yang sudah tampak lebih awal.
Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas intensional
berfungsi mengkonstitusikan obyek-obyek intensional. Obyek intensional
tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan
oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri. Obyek intensional
sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas intensional.
Selanjutnya, selain memiliki ciri dan karakter tersendiri, tentu saja
pendekatan fenomenologi memiliki kekuatan dan kelemahan. Diantara
kekuatan dari pendekatan fenomenologi yang dapat penulis ungkapkan
adalah;
Pertama, sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat
mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi
data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu
pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran
yang benar-benar objektif.
Kedua, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan
yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian
fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan
partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi,
sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama
ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang
kajian agama.
Adapun yang menjadi kelemahan dalam pendekatan ini adalah sebagaimana
tujuan dari fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni
objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari
adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd.
Selain itu, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut
terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan
objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku
pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
2. Fenomenologi Agama
Dalam hal ini Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang
nantinya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi
agama adalah:
epoché dan
eidetic vision.
Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna “pengurungan” (
bracketing).
Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman
yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan
konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat
sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya.
Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan
epoché,
memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah
fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan
refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman
intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan
yang “objektif”.
[19]
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik
fenomenologi filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi
agama.
[20]
1) Watak deskriptif, yakni Fenomenologi berupaya
untuk menggambarkan watak fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan
dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia.
2) Antireduksionisme, yaitu pembebasan dari
prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari
menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk
memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan
deskripsi-deskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman ini.
3) Intensionalitas, yaitu cara menggambarkan
bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan,
mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang
fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari
datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan
dan maknanya yang diinginkan.
4) Pengurungan (epoché), diartikan sebagai
penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan-keyakinan dan
penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak
teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan
memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
5) Eidetic vision, adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness)
dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu
fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena
jenis tertentu.
a. Kemunculan Fenomenologi Agama
Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans,
dalam disipli-disiplin keilmuan yang berbeda seperti linguistik,
kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti
antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal
sebagai Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari
kelimuan tersebut pada masa-masa awal adalah untuk memberikan deskripsi
yang objektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat, tentang
berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya untuk
membuat perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas
budaya dan agama Barat ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia
yang lainnya.
Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan
pendekatan dan disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern
yang penuh dengan asumsi-asumsi dan penilaian-penilaian subjektif dan
normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas eksternal
lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan
objektif yang akurat.
[21]
Namun, kajian agama awal mereka dibentuk oleh asumsi-asumsi,
praduga-praduga dan penilaian-penilaian apologetis, religius, politis
dan ekonomi. Kajian komparatif terhadap agama lebih memaparkan
superioritas agama dan budayanya sendiri, dan jarang melihat dan
mengkajinya dari perspektif orang lain. Misalnya, kajian awal tentang
agama-agama “animistik”, yang dilakukan oleh E.B. Taylor, mencoba
menentukan perkembangan evolusioner mereka dengan satu pandangan untuk
memaparkan watak “primitif” dari ritus-ritus dan keyakinan-keyakinan
mereka. Selain itu, pendekatan dan metode penelitian agama yang
digunakan mengadopsi pandangan positivistik tentang “fakta-fakta”
empiris dan pengetahuan “objektif” yang bisa diamati. Para ilmuan agama
mengadopsi gagasan evolusi-nya Darwin dan menerapkannya pada bahasa,
agama, budaya, dan isu-isu lainnya. Secara tipikal, mereka mengorganisir
data agama dalam suatu kerangka yang telah ditentukan sebelumnya,
unilinear, yang dimulai dari tingkatan agama-agama primitif yang
terendah, tidak berkembang dan berevolusi pada puncak monoteisme Barat
khususnya Kristenitas. Dalam kerangka ilmiah, manusia berevolusi
melampaui semua agama hingga tahap perkembangan yang lebih tinggi yang
ilmiah dan rasional. Pendekatannya bersifat sangat normatif, dengan
menerapkan standar-standar mereka untuk membuat penilaian-penilaian
ilmiah. Sebagai contohnya, biasanya manusia berulang kali mengklaim
bahwa mereka mempunyai “pengalaman-pengalaman tentang Tuhan”. Para
psikolog agama berupaya menganalisa dan menjelaskan
pengalaman-pengalaman tersebut dan fenomena-fenomena religius dengan
penjelasan psikologis. Para sosiolog agama menjelaskannya dalam
terma-terma kebutuhan, fungsi dan struktur sosial. Para filosof
mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis normatif.
Fenomenologi agama muncul berupaya untuk menjauhi pendekatan- pendekatan
sempit, etnosentris dan normatif. Ia berupaya mendeskripsikan
pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam penggambaran,
analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk menunda penilaian
tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia
berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama
seperti yang muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain.
b. Pengertian Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan
pendekatan modern terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama
mengidentifikasi fenomenologi agama dalam wilayah umum
Religionswissenchaft (sains
agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk
mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan oleh
Douglas Allen.
[22]
- Fenomenologi
agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena atau
objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa
diamati.
- Fenomenologi
diartikan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe
fenomena agama yang berbeda. Pengertian ini berkembang dikalangan
ilmuan Belanda, dari P. D. Chantepie de la Saussaye hingga sejarawan
agama Skandinavia Geo Widengren dan Ake Hultkrantz
- Fenomenologi
agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam
kajian-kajian agama. Pengertian ini diajukan oleh W. Brede Kristensen,
Gerardus van der Leeuw, Joachim Wach, C. Jouco Bleeker, Mircea Eliade,
Jacques Waardenburg.
- Ada
ilmuan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi
filsafat. Beberarapa ilmuan itu seperti Max Scheler dan Paul Ricoer,
mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi filsafat. Yang
lainnya, seperti Rudolf Otto, Gerardus Van der Leeuw dan Mircea Eliade,
menggunakan metode filsafat dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi.
Ada juga pendekatan-pendekatan teologis berpengaruh yang menggunakan
fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi teologi,
seperti Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean Luc Marion.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya masih bersifat umum, karena
tidak memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologi dalam
kajian itu. Menurut hemat penulis, definisi yang tepat untuk
menggambarkan fenomenologi agama adalah sebagai sebuah metode yang
menyesuaikan prosedur-prosedur epoché(penundaan
penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam
makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang
direspons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat
mereka.
Jika mengacu dari pengertian di atas, menurut penulis ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi, yaitu epoché, yang berarti “pengurungan semua anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan eidetic intuition yang
mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”. Dengan kedua
cara ini, fenomena agama dan pengalaman keberagamaannya dapat diketahui
struktur-struktur mendasarnya.
c. Aplikasi Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Agama
Bagaimana mengaplikasikan pendekatan fenomenologis dalam penelitian
agama? Untuk menjawab ini, penulis akan memaparkan beberapa prosedur
penelitian fenomenologis:
- Peneliti
perlu memahami perspektif filosofis di balik pendekatan itu,
khususnya konsep tentang mempelajari bagaimana orang mengalami
fenomena. Konsep epoché adalah penting, dimana peneliti
mengurung gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu
fenomena untuk memahaminya melalui suara-suara informan.
- Peneliti
menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasikan dari
suatu pengalaman bagi individu dan meminta individu untuk menggambarkan
pengalaman hidup mereka sehari-hari.
- Peneliti
kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang
sedang diteliti. Khususnya, informasi ini dikumpulkan melalui
wawancara yang panjang (ditambah dengan refleksi-diri dan
deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari karya-karya
artistik) dengan informan.
- Langkah-langkah
analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua fenomenolog
psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog
psikologis menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan
prosedur dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan atauhorisonalisasi. Kemudian unit-unit ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan
makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau
fenomenologis. Terakhir, transformasi-transformasi ini diikat
bersama-sama untuk membuat deskripsi umum tentang pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan deskripsi struktural tentang
bagaimana ia dialami. Sebagian fenomenolog membuat variasi dari
pendekatan ini dengan memasukkan makna pengalaman personal, dengan
menggunakan analisis subjek-tunggal sebelum analisis antar-subjek, dan
dengan menganalisa peran konteks dalam prosesnya.
- Laporan
fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca
tentang struktur (esensi) yang esensial, tidak berubah dari pengalaman,
sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari pengalaman itu
eksis.
D. Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas dapat penulis simpulkan bahwa, agama mesti
dipelajari sebagai sebuah ekspresi sosial dan kultural dengan
konteks-konteks hisotris, geografis, politik dan ekonomi.
Dimensi-dimensi Smart dapat digunakan, namun tanpa membawa gagasan
esensialisnya tentang agama sebagai sesuatu yang difokuskan secara
transendental. Kita bisa juga mendukung pendekatan polimetodis dengan
menggunakan semua ilmu pengetahuan manusia untuk memahami bagaimana
tradisi-tradisi ditransmisikan secara otoritatif dalam berbagai macam
masyarakat dan bagaimana ini diperkuat dalam mitos, ritual, doktrin,
pranata hukum, ekspresi artistik, dan testimoni kaum beriman, termasuk
keadaan seperti kemasukan ruh dan keluar dari pengalaman fisik.
Agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa
agama-agama perlu dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya
atau tidak percaya kepada Tuhan, spirit atau sebagian bentuk transenden,
namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan dan memperkuat otoritas
tradisi. Agama sebagai transmisi tradisi otoritatif memberikan kepada
kita satu jalan untuk mempelajari agama tanpa memasukkan agenda
teologis, sembari memberikan ruang untuk berbagai perspektif yang utuh,
termasuk kritik-kritik posmodern atau poskolonial.
DAFTAR PUSTAKA
Bryan Magee, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008
Douglas Allen, “Phenomenology of Religion” dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005.
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003. Cet. I.
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies.
Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
——–, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, didownload dari google e-book, tanggal 14 November 2010.
Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern dari Parson sampai Habermas, Jakarta: Rajawali Press, 198
Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005.
Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000.
Peter Connolly (ed), Approaches to the Study of Religion, New York: Cassel, 1999.
[1] Peter Connolly (ed),
Approaches to the Study of Religion, (New York: Cassel, 1999), h. 106.
[2] Istilah
Religionswissenschaft pertama
kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah
ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari
filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di
Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 – 127
[3]Fazlur Rahman,
“Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, h. 190
[4] Franz Magnis Suseno,
Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 50
[6] Hassan Hanafi,
Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, h. 275, didownload dari
google e-book, tanggal 14 November 2010.
[7] Bryan Magee,
The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), h. 210
[8] Hassan Hanafi,
Op.cit., h.
[9] Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005), h. 234-239.
[10] Mochammad Dimyati,
Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000), h. 70
[11] Lorens Bagus,
Op.Cit., h. 236,
[12] Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (
epoche)
atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis
atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl,
epochememiliki empat macam, yaitu: (1)
Method of historical bracketing;
metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah
kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun
ilmu pengetahuan; (2)
Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda. (3)
Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
[13] Mochammad Dimyati,
Op.cit, h. 80
[14] Ian Craib,
Teori-teori Sosial Modern dari Parson sampai Habermas, (Jakarta: Rajawali Press, 198), h. 126
[16] Bryan Magee,
Op.Cit., h. 209-212
[17] F. Budi Hardiman,
Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), Cet. I, h. 28
[18] Franz Magnis Suseno,
12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 89-90
[19] Peter Connolly (ed),
Op.cit, h. 76-77
[20] Douglas Allen, “Phenomenology of Religion” dalam
The Routledge Companion to the Study of Religion, (London and New York: Routledge, 2005), h. 189-190
[21] Douglas Allen,
Op.cit., h. 187
Sumber : http://thinker-asratisme.blogspot.com/2014/08/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi.html