Kamis, 03 November 2016

Mendaur Ulang Sumpah Yang Telah Usang

Oleh : Rizal Pauzi*

Sumpah pemuda Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia  mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
(Jakarta,28 oktober 1928)

Berbicara tentang sumpah, berarti berbicara tentang sesuatu yang sakral. Barangkali jika hanya sebatas janji, maka dalam dunia politik masih ada celah berupa ralat ataupun klarifikasi. Tapi sumpah, harga mati untuk dipenuhi.
87 tahun silam, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928. Kumpulan pemuda Indonesia  yang terdiri dari perwakilan Organisasi Kepemudaan Se Nusantara seperti Jong Java, Jong Celebes, dll mengadakan kongres II yang selanjutnya melahirkan komitmen perjuangan bersama yang di beri nama Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda yang intinya mengaku bertumpah darah yangsatu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Komitmen pemuda yang kemudian dikenal dengan istilah sumpah pemuda ini mengandung makna bahwa semua pemuda di nusantara ini memiliki komitmen untuk memperjuangkan lahirnya Negara yang dikenal dengan nama Indonesia. Ide persatuan ini sebenarnya berawal dari manifesto politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Inti dari manifesto politik ini mengandung tiga prinsip perjuangan unity (persatuan), equality (kesetaraan) dan liberty (kesetaraan).  Manifesto politik ini lahir pada tahun 1925 di belanda yang selanjutnya menyebarkan virus tersebut ke pemuda Indonesia.
Selanjutnya kongres pemuda II yang di gagas oleh perhimpunan pelajar pelajar Indonesia (PPPI) kemudian melahirkan apa yang kesamaan pandangan untuk memperjuangkan berdirinya sebuah Negara yang menjunjung tinggi persatuan, kesetaraan dan kebebasan. Untuk mencapai tujuan itu maka perlu perjuangan berat, olehnya itu kata “ sumpah” digunakan dalam sebagai pengikat perjuangan kaum muda di seluruh pelosok nusantara.
Dengan sumpah itulah, pemuda berjuang dengan rela mengorbankan fikiran, tenaga bahkan nyawa untuk memperjuangkan berdirinya Indonesia. Bahkan tidak sedikit pemuda yang dibunuh oleh penjajah dan pimpinan aktivis pergerakan harus keluar masuk penjara. Namun 20 tahun sejak lahirnya manifesto politik dan  17 tahun sejak sumpah pemuda di ikrarkan, rakyat Indonesia berhasil mengikrarkan proklamasi kemerdekaan republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai pertanda berdirinya suatu bangsa.
Sumpah pemuda mampu melahirkan kejutan dengan lahirnya Republik Indonesia, namun setelah 87 tahun setelah di ikrarkannya sumpah pemuda. Tak ada lagi kejutan yang mampu dilahirkan.
 Apa yang salah dari kaum muda Indonesia hari ini?
Setidaknya jika kita berbicara fakta hari ini, maka kita dapat melihat berbagai kerusakan yang disebabkan oleh kaum muda.sebut saja, yang menjual kekayaan Indonesia melalui riset – riset yang dibiayai oleh LSM internasional adalah pemuda, yang merusak fasilitas umum saat melakukan aksi demonstrasi adalah pemuda, yang menjadi anggota geng motor yang meneror masyarakat adalah pemuda, yang menjadi konsultan politik para koruptor adalah pemuda, yang hanya bergaya hedonisme adalah pemuda, yang melupakan nasionalisme juga adalah pemuda. yang tawuran adalah pemuda, Dan yang paling parah, pemuda yang memperingati hari sumpah pemuda dengan memacetkan jalan dan bentrok dengan masyarakat dan pihak keamanan.
Rasa – rasanya “Sumpah Pemuda” yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 telah usang. Barangkali termakan waktu atau lekah oleh zaman. Tak ada lagi forum yang mampu mempersatukan kaum muda Indonesia seperti kongres pemuda II. Yang ada hanyalah wadah berkumpul untuk mendidik pragmatisme politik melalui bagi – bagi proyek bersama.
Yang menjadi dilema hari ini adalah apakah sumpah pemuda hari ini memang tak lagi sesuai dengan zaman atau kah karena telah dilupakan oleh pemuda. Barangkali banyak pemuda hari ini yang tidak memahami subtansi sumpah pemuda atau bahkan naskah sumpah pemuda pun tak lagi dihafal. Olehnya itu ada dua pilihan yang mungkin dilakukan jika sesuatu itu telah usang, pertama adalah mengganti dengan yang baru atau kah mendaur ulang.
Menurut hemat penulis, pilihan yang harus diambil adalah mendaur ulang sumpah pemuda. Hal ini karena secara subtansi sumpah pemuda masih relevan dan merupakan warisan para pejuang kemerdekaan. Jadi tidak mesti diganti tapi perlu didaur ulang sehingga generasi muda hari ini bisa kembali tertarik dan bisa bermanfaat. Daur ulang yang dimaksud disini bukan daur ulang biasa. Tetapi terlebih pada “sumpah pemuda” yang di tafsirkan kembali penjabarannya untuk konteks saat ini. Kita kemudian harus kembali menjabarkan makna dari satu tanah air, satu bangsa dan bahasa persatuan. Karena jika tidak dilakukan hal demikian maka sebagian pemuda mengganggap tujuan sumpah pemuda telah tercapai dengan berdirinya Republik Indonesia dan penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi melalui undang – undang.
Dalam mendaur ulang sumpah pemuda ini harus dibagi menjadi tiga hal, pertama sumpah pemuda harus mampu menjadi pembangkit semangat perjuangan pemuda untuk mencintai tanah airnya, bangsanya dan bahasanya. Kedua, sumpah pemuda harus mampu menjadi landasan nasionalisme pemuda dalam mengawal Negara kesatuan republic Indonesia. Ketiga, sumpah pemuda harus menjadi control bagi pemuda Indonesia untuk tidak merusak apa yang ada di negerinya sendiri.
Dengan demikian, sumpah pemuda akan memiliki wajah baru tanpa harus mengubah subtansi dan hakikat dari sumpah pemuda tersebut. Wajah baru inilah yang perlu diskusikan model dan penjabarannya. Kita berharap ada organisasi kepemudaan yang mampu menjadi the next Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang mempelopori kongres pemuda. Pemuda harus kembali bersatu mengawal Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan demikian, peringatan sumpah pemuda tiap tahunnya tidak sebatas formalitas belaka, tapi terlebih pada lahirnya gagasan – gagasan baru di tiap peringatannya. Karena setiap generasi punya masa, setiap masa punya pemimpin dan setiap pemimpin butuh terobosan baru. Masa depan bangsa ada di pundak kaum muda. Saatnya melakukan perubahan, jangan sampai kita menjadi generasi yang menjadi tumbal keingkaran kita akan sumpah pemuda.


*)Pernah di muat dikoran harian Amanah
*) Penulis adalah Direktur Public Policy network (Polinet), Mahasiswa Pascasarjana Unhas

Rabu, 13 Agustus 2014

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI AGAMA ISLAM

oleh : Ahmad Muzakki

A.    Pendahuluan
Masalah pendekatan dalam kajian Islam telah mendorong perhatian banyak sarjana di bidang studi Islam (Islamic Studies). Awalnya, kajian Islam hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas dan hanya dikaji dalam konteks history of religions,comparative study of religios atau religions wissenschaft pada umumnya.
Dalam kaitanya dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak pernah terbekukan secara tegas. Maka perlu kiranya suatu kecermatan dalam upaya menentukan faktor-faktor yang mencakup dalam pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis memiliki karekteristik tersendiri yang berbeda dengan pendekatan lainya dalam memahami agama.
Kali pertama, pendekatan fenomenologi merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Begitu juga fenomenologi lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.[1]
Terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi agama. Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama sesorang yang termasuk di dalamnya usaha sebagian dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara netral sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasi fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum, pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama, tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang apa yang yang disebut dengan perilaku keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang relatif kebenarannya, pada pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasional, ia membutuhkan perangkat lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
B.     Pembahasan
Seseorang dapat mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk Religionswissenschaft.[2] Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama.
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Epoche sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik.
Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri.
Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Selanjutnya dalam pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dengan demikian pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan “ya” terhadap deskripsi tersebut.[3]
Adapun aspek yang Kedua adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
1.      Akar Dan Perkembangan Pemikiran Fenomenologi
Sekitar abad 15 dan 16 M, di Eropa telah terjadi suatu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya. Hal ini dikarenankan di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya. Selanjutnya, munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan– bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasar atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan.[4]
Adalah sebuah kesadaran akan ‘subyektivitas’ yang menjadi titik poin di dalam era kebangkitan. Kiranya perlu kita ketahui dan renungkan bahwa subyektif di sini bukan sebagai lawan dari obyektif, melainkan dari kata subyek (aku) sebagai yang menghendaki, bertindak serta mengerti. Hal ini tampaknya senada dengan apa yang ungkapkan oleh Hegel, ketika ia mengatakan bahwa manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris.[5]
Dengan demikian, pada abad ke-15 dan 16 M, selain masa revitalisasi agama dan masa kebangkitan Eropa berlangsung, pada saat itu pula muncul penekanan segala hal pada sudut pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî).
Dari sinilah awal mula muncul dua aliran besar yang saling bertentangan, yakni rasionalisme dan empirisme. Kemudian, pertentangan ini berlanjut pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa, yakni; idealis dan realis. Immanuel Kant pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini, namun yang terjadi justru pengunggulan idealistik atas realistik. Pun Hegel, ia malah terjebak pada prioritas ide dan konsep atas materi. Efeknya, tesis yang dikemukakannya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi dari pada ke realitas.[6]
Kehadiran Edmund Husserl, empat kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke-19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena, “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan “fenomenologi”.[7] Secara genealogis, fenomenologi juga merupakan sebentuk respon terhadap dominasi ‘rasio’, yang terjadi pada abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis. Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.[8]
Selanjutnya, secara harfiah istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunanipahainomenon yang memiliki arti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dengan demikian secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’ dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).[9] Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi membutuhkan perangkat lain, seperti sejarah, filologi, arkeologi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Dimyati, dengan mengutip dari beberapa gagasan Husserl, menyatakan bahwa fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang meliputi inderawi, konseptual, moral, estetis dan religius. Fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.[10]
Karenanya, manusia sebagai makhluk yang selalu melakukan komunikasi, interaksi, partisipasi dan penyebab yang bertujuan. Kekhususan manusia terletak pada intensionalitas psikisnya yang ia sadari, yang dikaitkan dengan dunia arti dan makna. Maka, dunia makna manusia dapat diteliti dengan metode fenomenologi.
Pada prakteknya, Husserl hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam fenomenologi, yakni: reduksi fenomenologis dan konstitusi. Reduksi fenomenologis merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju “kesadaran”. Dalam arti, jika sikap natural terhadap fenomena alam “menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis berarti penangguhan “kepercayaan” terhadap dunia riil. Namun sikap tersebut tidak berarti menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam upaya “netralisasi”—Husserl mengistilahkan hal ini dengan diberi tanda kurung (bracketing). Di sini Husserl membedakan antara reduksi fenomenologis dan reduksi eidetik. Perbedaannya adalah, reduksi fenomenologis mengindahkan alam riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’. Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna. Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”.[11]
Selanjutnya, reduksi eiditis merupakan tahapan reduksi kedua dalam penelitian berperspektif fenomenologi. Reduksi ini bertujuan memperoleh intisari dari hakikat yang telah ada. Biasanya dalam reduksi ini, peneliti menempuh langkah pengabstraksian (menggambarkan secara imajinatif) tentang peristiwa sosial yang hidup. Selain itu, peneliti melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap data-data yang bersifat tetap atau tidak menunjukkan perubahan dalam berbagai variasi situasi dan kondisi. Melalui cara interpretative understanding ini diharapkan dapat mempermudah bagi peneliti secara langsung membuat klasifikasi dan identifikasi perolehan data di lapangan. Dalam kegiatan ini pencatatan data dan informasi dengan menggunakan field notes, dilakukan sesegera mungkin setelah wawancara naturalistic (naturalistic interview) berlangsung, misalnya di rumah. Selanjutnya dari hasil observasi, perilaku tindakan masyarakat dipilah-pilah untuk dilakukan pendalaman lebih lanjut melalui wawancara mendalam sehingga diperoleh makna dan pemahaman. Proses pengumpulan data dihentikan setelah dianggap jenuh yaitu setelah tidak ada jawaban baru lagi dari lapangan.
Artinya, peneliti selalu memperoleh informasi atau jawaban yang sama atau sejenis dari informan-informan baru. Situasi ini ditandai dengan data yang terkumpul selalu menunjukkan hal yang sama dari berbagai situasi dan sumber yang berbeda.
Untuk melakukan epoche[12] dalam rangka mendapatkan kemurnian fenomena maka ketika peneliti memasuki lapangan harus melepaskan segala atribut seperti adat istiadat, jabatan, agama, dan pandangan ilmu pengetahuan.[13] Padahal, tugas fenomenologi adalah menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dari kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar.[14] Di sini fenomenologi merupakan bentuk idealisme yang tertarik pada struktur-struktur dan cara bekerjanya kesadaran manusia, yang secara implisit meyakini bahwa dunia yang kita alami, diciptakan atas dasar kesadaran.[15] Dunia eksternal tidak ditolak keberadaannya, tetapi dunia luar hanya dapat dimengerti melalui kesadaran kita. Kita hanya tertarik dengan dunia sejauh dia memiliki makna, maka kita harus memahami dengan membuatnya bermakna. Cara memahaminya harus mengesampingkan apa yang sudah kita asumsikan tahu, lalu menelusuri proses untuk memahaminya. Pengesampingan ini sering pula diistilahkan dengan reduksi fenomenologis.
Sementara itu, konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena terhadap “kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi fenomenologi; tampaknya fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya kemudian disebut “pelaku kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai relasi antara subyek dan kesadaran.
Martin Heidegger dalam bukunya menyinggung fenomenologi Husserl, bahwa manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, suatu tempat, panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi bersifat duniawi. Atau “ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan “kesadaran” sendiri tak pernah berinteraksi langsung dengan realitas jika eksistensi tidak menyeruak menembus “kesadaran”. Titik akhirnya, ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.[16] Disini terlihat jelas bahwa Heidegger hendak menyatukan antara fenomenologi dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan fenomena “ada”. Dalam arti, bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi “tidak ada”? Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan kesadaran”.[17]
Tampaknya Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa eksistensi yang selalu hidup dalam diri manusia adalah “kesadarannya” sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas suatu realitas adalah pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”.[18]
Menurut hemat penulis, dari uraian di atas dapat dikatahui bahwa pendekatan fenomenologi memiliki ciri dan karakter tersendiri. Fenomenologi berangkat dari pola pikir sub-subyektivisme, yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna dibalik gejala itu. Selain itu, intensional obyektifikasi berarti mengarahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran kesadaran), kepada obyek-obyek intensional. Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran. Husserl melihat, dalam pengarahan intensional ada struktur yang kompleks dan dalam struktur tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan diintegrasikan dalam obyek yang membentuk kutub obyektifnya.
Kemudian, intensionalitas sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan peristiwa kemudian pada obyek hasil obyektivikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dari dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun intelektual.
Yang menjadi ciri selanjutnya adalah intensionalitas korelasi, menghubung-hubungkan setiap aspek dari obyek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang menjadi horizonnya. Bagian depan sebuah obyek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek yang menjadi horizon dari obyek memberi pengharapan pada subyek untuk mengalaminya kembali di kemudian hari. Aspek atau bagian-bagian tersebut selalu dibayangi oleh obyek identik yang sudah tampak lebih awal.
Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas intensional berfungsi mengkonstitusikan obyek-obyek intensional. Obyek intensional tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri. Obyek intensional sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas intensional.
Selanjutnya, selain memiliki ciri dan karakter tersendiri, tentu saja pendekatan fenomenologi memiliki kekuatan dan kelemahan. Diantara kekuatan dari pendekatan fenomenologi yang dapat penulis ungkapkan adalah;
Pertama, sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Kedua, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Adapun yang menjadi kelemahan dalam pendekatan ini adalah sebagaimana tujuan dari fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Selain itu, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
2.      Fenomenologi Agama
Dalam hal ini Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah:epoché dan eidetic visionEpoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna “pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.[19]
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.[20]
1)      Watak deskriptif, yakni Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia.
2)      Antireduksionisme, yaitu pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih akurat tentang  pengalaman ini.
3)       Intensionalitas, yaitu cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.
4)      Pengurungan (epoché), diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya  dengan mengurung keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui  fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
5)      Eidetic vision, adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.
a.      Kemunculan Fenomenologi Agama
Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disipli-disiplin keilmuan yang berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari kelimuan tersebut pada masa-masa awal adalah untuk memberikan deskripsi yang objektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat, tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya untuk membuat perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya dan agama Barat ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.
Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi dan penilaian-penilaian subjektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan  objektif  yang  akurat.[21]
Namun, kajian agama awal mereka dibentuk oleh asumsi-asumsi, praduga-praduga dan penilaian-penilaian apologetis, religius, politis dan ekonomi. Kajian komparatif terhadap agama lebih memaparkan superioritas agama dan budayanya sendiri, dan jarang melihat dan mengkajinya dari perspektif orang lain. Misalnya, kajian awal tentang agama-agama “animistik”, yang dilakukan oleh  E.B. Taylor, mencoba menentukan perkembangan evolusioner mereka dengan satu pandangan untuk memaparkan watak “primitif” dari ritus-ritus dan keyakinan-keyakinan mereka. Selain itu, pendekatan dan metode penelitian agama yang digunakan mengadopsi pandangan positivistik tentang “fakta-fakta” empiris dan pengetahuan “objektif” yang bisa diamati. Para ilmuan agama mengadopsi gagasan evolusi-nya Darwin dan menerapkannya pada bahasa, agama, budaya, dan isu-isu lainnya. Secara tipikal, mereka mengorganisir data agama dalam suatu kerangka yang telah ditentukan sebelumnya, unilinear, yang dimulai dari tingkatan agama-agama primitif yang terendah, tidak berkembang dan berevolusi pada  puncak monoteisme Barat khususnya Kristenitas. Dalam kerangka ilmiah, manusia berevolusi melampaui semua agama hingga tahap perkembangan yang lebih tinggi yang ilmiah dan rasional. Pendekatannya bersifat sangat normatif, dengan menerapkan standar-standar mereka untuk membuat penilaian-penilaian ilmiah. Sebagai contohnya, biasanya manusia berulang kali mengklaim bahwa mereka mempunyai “pengalaman-pengalaman tentang Tuhan”. Para psikolog agama berupaya menganalisa dan menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut dan fenomena-fenomena religius dengan penjelasan psikologis. Para sosiolog agama menjelaskannya dalam terma-terma kebutuhan, fungsi dan struktur sosial. Para filosof mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis normatif.
Fenomenologi agama muncul berupaya untuk menjauhi pendekatan- pendekatan sempit, etnosentris dan normatif. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain.
b.      Pengertian Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama mengidentifikasi fenomenologi agama dalam wilayah umum Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan  oleh  Douglas  Allen.[22]
  1. Fenomenologi  agama  diartikan  sebagai sebuah  investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati.
  2. Fenomenologi diartikan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda. Pengertian ini berkembang dikalangan  ilmuan Belanda, dari P. D. Chantepie de la Saussaye hingga  sejarawan  agama  Skandinavia Geo Widengren dan Ake Hultkrantz
  3. Fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Pengertian ini diajukan oleh W. Brede Kristensen,  Gerardus van der Leeuw, Joachim Wach, C. Jouco Bleeker, Mircea Eliade,  Jacques Waardenburg.
  4. Ada ilmuan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat. Beberarapa ilmuan itu seperti Max Scheler dan Paul Ricoer, mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi filsafat. Yang  lainnya, seperti Rudolf Otto, Gerardus Van der Leeuw dan Mircea Eliade, menggunakan metode filsafat dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Ada juga pendekatan-pendekatan teologis berpengaruh yang menggunakan fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi teologi, seperti  Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean Luc Marion.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya masih bersifat  umum, karena  tidak  memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologi dalam kajian itu. Menurut hemat penulis, definisi yang tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama adalah sebagai sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoché(penundaan penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang direspons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka.
Jika mengacu dari pengertian di atas, menurut penulis ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi, yaitu epoché, yang berarti “pengurungan semua anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan eidetic intuition yang mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”. Dengan kedua cara ini, fenomena agama dan pengalaman keberagamaannya dapat diketahui struktur-struktur mendasarnya.
c.      Aplikasi Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Agama
Bagaimana mengaplikasikan pendekatan fenomenologis dalam penelitian agama? Untuk menjawab ini, penulis akan memaparkan beberapa prosedur penelitian fenomenologis:
  1. Peneliti  perlu  memahami  perspektif  filosofis  di  balik pendekatan itu, khususnya konsep tentang mempelajari bagaimana orang mengalami  fenomena. Konsep epoché adalah penting, dimana peneliti mengurung  gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena  untuk memahaminya melalui suara-suara informan.
  2. Peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasikan dari suatu pengalaman bagi individu dan meminta  individu untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
  3. Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami  fenomena  yang  sedang  diteliti.  Khususnya,  informasi  ini dikumpulkan  melalui wawancara yang panjang (ditambah dengan refleksi-diri dan deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari karya-karya artistik) dengan informan.
  4. Langkah-langkah analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua fenomenolog psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang  sama. Rancangan prosedur dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan atauhorisonalisasi. Kemudian unit-unit ditransformasikan ke dalam cluster of meanings (kumpulan makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis. Terakhir, transformasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat deskripsi umum tentang  pengalaman,  deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan deskripsi struktural tentang bagaimana ia dialami. Sebagian fenomenolog membuat variasi dari pendekatan ini dengan memasukkan makna pengalaman personal, dengan menggunakan analisis subjek-tunggal sebelum analisis antar-subjek, dan dengan menganalisa peran konteks dalam prosesnya.
  5. Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca tentang struktur (esensi) yang esensial, tidak berubah dari pengalaman, sembari mengakui bahwa makna tunggal yang utuh dari  pengalaman itu eksis.
D.    Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas dapat penulis simpulkan bahwa, agama mesti dipelajari sebagai sebuah ekspresi sosial dan kultural dengan konteks-konteks hisotris, geografis, politik dan ekonomi. Dimensi-dimensi Smart dapat digunakan, namun tanpa membawa gagasan esensialisnya tentang agama sebagai sesuatu yang difokuskan secara transendental. Kita bisa juga mendukung pendekatan polimetodis dengan menggunakan semua ilmu pengetahuan manusia untuk memahami bagaimana tradisi-tradisi ditransmisikan secara otoritatif dalam berbagai macam masyarakat dan bagaimana ini diperkuat dalam mitos, ritual, doktrin, pranata hukum, ekspresi artistik, dan  testimoni kaum beriman, termasuk keadaan seperti kemasukan ruh dan keluar dari pengalaman fisik.
Agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa agama-agama perlu dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya atau tidak percaya kepada Tuhan, spirit atau sebagian bentuk transenden, namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan dan memperkuat otoritas tradisi. Agama sebagai transmisi tradisi otoritatif memberikan kepada kita satu jalan untuk mempelajari agama tanpa memasukkan agenda teologis, sembari memberikan ruang untuk berbagai perspektif yang utuh, termasuk kritik-kritik posmodern atau poskolonial.
DAFTAR PUSTAKA
Bryan Magee, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008
Douglas Allen, “Phenomenology of Religion” dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005.
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003. Cet. I.
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies.
Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
——–, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, didownload dari google e-book, tanggal 14 November 2010.
Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern dari Parson sampai Habermas, Jakarta: Rajawali Press, 198
Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005.
Mochammad Dimyati, Penelitian KualitatifParadigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000.
Peter Connolly (ed), Approaches to the Study of Religion, New York: Cassel, 1999.

[1] Peter Connolly (ed), Approaches to the Study of Religion, (New York: Cassel, 1999), h. 106.
[2] Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 – 127
[3]Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, h. 190
[4] Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 50
[5] Ibid.
[6] Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, h. 275, didownload dari google e-book, tanggal 14 November 2010.
[7] Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), h. 210
[8] Hassan Hanafi, Op.cit., h.
[9] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005), h. 234-239.
[10] Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000), h. 70
[11] Lorens Bagus, Op.Cit., h. 236,
[12] Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epochememiliki empat macam, yaitu: (1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan; (2)Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda. (3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
[13] Mochammad Dimyati, Op.cit, h. 80
[14] Ian Craib, Teori-teori Sosial Modern dari Parson sampai Habermas, (Jakarta: Rajawali Press, 198), h. 126
[15] Ibid., h. 127
[16] Bryan Magee, Op.Cit., h. 209-212
[17] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), Cet. I, h. 28
[18] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 89-90
[19] Peter Connolly (ed), Op.cit, h. 76-77
[20] Douglas Allen, “Phenomenology of Religion” dalam The Routledge Companion to the Study of Religion, (London and New York: Routledge, 2005), h. 189-190
[21] Douglas Allen, Op.cit., h. 187
[22] Ibid., h. 185
Sumber : http://thinker-asratisme.blogspot.com/2014/08/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi.html